Arsip Blog

Jumat, 26 Februari 2010

DARSO

D A R S O


Ombak di laut itu cukup besar, airnya keruh, kekuningan-kuningan, bergulung-gulung tak pernah berhenti. Kontras dengan langit di atasnya yang biru bersih dengan sinar mataharinya yang terang. Tidak seperti biasanya, airnya yang bersih, memantulkan sinar matahari sehingga tampak kerlap-kerlip di permukaannya. Sesekali deburan ombak yang kembali ke pantai membawa sampah, apa saja, dan tampak laut yang cantik itu tak begitu dipedulikan.

Cukup banyak orang yang datang di sore itu. Sepasang suami istri kelihatan sibuk membantu melepas baju anaknya.dan membiarkanya ketika si anak berlari menyongsong deburan ombak. Badanya basah kuyub dan dibeberapa bagian tubuhnya menempel banyak pasir. Wajahnya bergairah dan sangat jelas ia menikmati permainanya. Tidak jauh dari tempat itu beberapa kelompok anak muda bermain sepak bola pasir, dengan jumlah pemain seadanya, tiang gawang yang dibuat dari ranting-ranting pohon yang hanyut, tidak mengurangi sedikitpun semangat mereka untuk bergembira. Sore itu, di laut itu, orang-orang yang datang tampak bergembira dengan caranya sendiri-sendiri.

Sudah puluhan tahun tumpukan batu-batu itu ada disitu, kelihatan dirancang untuk memecah ombak dan menahan abrasi di tepi pantainya, mamanjang dari bibir pantai sampai menjorok ke tengah laut, sebagian kropos dan berlubang di sana-sini karena hantaman ombak yang terus menerus. Lumut yang menempel, membuat batu-batuan itu menjadi licin dan menghitam. Serangga-serangga kecil berlarian memanjat dinding batu, ketika ombak menghantamya, jatuhlah ia dan kembali terseret ke tempat semula.

Tidak seperti biasasanya, yang banyak didatangi pemancing, yang bergerombol di atasnya, berpindah dari satu batu ke batu lainya, mencari posisi yang tepat. Sore itu hanya ada beberapa orang yang datang untuk mengadu keberuntunganya. Satu orang di sebelah timur baru saja melempar umpanya, Satu orang di bawah lampu mercusuar, ia menarik joran yang panjangnya hampir empat meter, dan siap memasang mata kailnya. Dan di sebelah barat, di atas batu yang cukup besar, duduk dua orang yang dengan sabar menunggu umpanya di makan ikan.

Kulitnya legam, berkerut merata di sekujur tubuhnya pertanda ia seorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja keras. Topi pemberian dari sebuah toko bangunan dipakainya untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari. Baju panjangnya lusuh dengan warna yang sudah pudar. Sinar matahari terus mamanasi tubuh itu yang diam dan membisu.

Darso menatap tajam, sulit membedakan apakah ia melamun ataukah sedang berkonsentrasi dengan pancingnya. Dahinya berkerut, sesekali ia membetulkan posisi duduknya, bergeser kekanan dan kekiri. Tangan kanannya tetap memegang joran dengan kuat. Saat itu tiba, senar pancingnya tampak bergetar, Darso terhenyak. Ia dengan buru-buru berdiri dari duduknya, mengambil posisi terbaik untuk menarik joranya. Sueb yang duduk di sebelahnya tidak kalah girangnya, langsung menyemangti ……Ayo So …tarik yang kuat…..ayo….cepat. Darso dengan sigap menarik rol senarnya, raut mukanya tampak ceria, harapanya untuk mendapatkan ikan akan terwujud. Darso dengan sekuat tenaga menarik joran ditangannya, senar pancingnya berkelak-kelok pertanda ada sesuatu yang menariknya. Keringatnya menetes, bersamaan dengan munculnya benda putih dipermukaan air, semakin dekat semakin jelas, benda itu bukanlah ikan yang diharapkan tapi sebuah sandal bekas. Bibirnya tersenyum getir, wajahnya tampak begitu kecewa. Sueb yang dari tadi berada di sebelahnya tampak tertawa terkekeh-kekeh……

Laut telah menjadi tempat favorit bagi Darso akhir-akhir ini. Sudah satu minggu Darso menghabiskan waktunya di laut itu, Masalah rumah tangganya dengan istrinya, Rumi, benar-benar telah manggangu pukiran Darso. Ia tinggalkan pekerjaaanya sebagai buruh serabutan dan mengalihkan perhatianya ke lautan. Di laut inilah untuk pertama kali mata Darso menatap wajah Rumi, wanita penjaja makanan untuk para pemancing di laut itu. Riasan yang mencolok, dengan gincu tebal dibibirnya, sapuan bedak yang tak kalah norak di kedua pipinya, ternyata telah membuat jantung Darso berdegup kencang. Darso jatuh cinta kepada Rumi.

Darso selalu kunjungi lautan itu setelah ia selesai dengan pekerjaanya, hanya untuk melihat sang pujaan hati. Darso tampak royal, apa saja makanan yang ada dibakul Rumi, ia cicipi satu persatu. Ia bayar dan tak pernah meminta uang kembalianya. Rumi tampak senang dengan sikap Darso ini. Senyum Rumipun mengembang, dan hati Darsopun semakin terpanah.

Pesona rumi, sang penjaja makanan tidaklah pudar, sekalipun ia telah memutuskan untuk menjadi istri Darso. Hari-harinya berjalan seperti biasa, tetap berjualan di tepi pantai dengan dandanan khas. Canda, tawa dan sesekali godaan dari para pemancing yang menjadi langgananya terus dilayani Rumi dengan senyumnya. Tampak Rumi sangat mengerti manajemen pemasaran, senyum dan keramahan ketika menjual dagangannya adalah strategi yang paling jitu, sehingga hampir setiap hari dagangan Rumi habis terjual.

Dolah, seorang perangkat desa yang telah menjadi pelanggan setianya, adalah salah satu orang yang tertarik dengan pesona rumi, sekalipun ia tahu jika Rumi telah menjadi milik darso. Kekalahanya dalam memperebutkan Rumi tidak menghentikan perjuanganya untuk tetap mendapatkan simpati dari Rumi. Bagi Dolah, Rumi adalah idaman hati, Wanita yang senantiasa hadir dalam khayalan dan pikiranya. Wanita yang memberikan pesona yang berbeda. Rumi adalah segalanya.

Aturan dalam bercinta bahwa seseorang telah menjadi milik orang lain atau seseorang akan menjadi milik orang lain tidaklah dikenal dalam pikiran Dolah. Berbagai cara ia lakukan dari rayuan, imimg-imimg materi dan kehidupan yang lebih baik sampai kata-kata menghiba mencoba membuka hati rumi.

Pikiran Rumi terus mengingat kata-kata indah Dolah, rayuan itu terus menusuk, membuat celah, kemudian menganga dan hati Rumipun akhirnya membuka diri bagi kehadiran Dolah. Darso sang suami tidak mampu membaca tanda-tanda ini, ia tak menyadari ada orang lain di hati Rumi. Pertemuan mereka setelah selesai dengan pekerjaan masing-masing, kelihatan hambar tanpa canda tawa, tak ada kehangatan apapun dari ke duanya, seperti awal-awal mereka bertemu. Dan sulit dimengerti ketika mereka mengganti suasanan rumah tangganya dengan saling menyindir dan saling menyakiti. Tak ada upaya apapun yang di lakukan Darso untuk menenangkan susasana itu, ia lebih memilih mengalah dan menghindar dari peperangan itu. Ia hampiri tempat tidurnya, tempat ia menghabiskan hari-hari bersama istrinya.Ia rebahkan badanya coba mengurai masalah rumah tangganya, tetapi ia tak pernah temukan jawabanya. Panah asmara yang Darso tancapkan ke hati Rumi, tampak tidak menghujam, sehingga panah itu rapuh dan lepas dengan sendirinya. Dan kelihatan Rumipun bersiap-siap menerima panah lain di hatinya, ia adalah Dolah.

Kenangan lima tahum lalu itu benar-benar membekas di ingatan dan hati Darso. Tak salah memang jika Darso sulit untuk melupakanya. Persaingan untuk mendapatkan Rumi amatlah ketat. Begitu kerasnya persaingan mendapatkan Rumi, membuat Darso sangat bangga ketika Rumi menjatuhkan pilihan kepadanya.

Mata Darso tetap menatap kosong, kelihatan sembab di kelopak matanya, ada guncangan hebat dalam diamnya. Ia merasakan betapa cepatnya saat-saat indah itu pergi dari kehidupanya. Tampak tak ada satupun yang bisa menyenangkan pikiranya. Laut yang menjadi kenangan indahnya hanya terus bergulung-gulung, kemudian pecah menghantam batu tepat di bawah Darso duduk. Langit biru, yang membentang sepanjang pandangan mata, hanya memancarkan keindahan warnanya seolah tak peduli dengan kegalauan hatinya. Joran pancing yang seminggu ini menemaninya tak juga memberikan kebahagiaan barang seekor ikanpun. Dan teman-teman mancingnya …….apa yang bisa diharapkan dari mereka.

Di laut itu Darso menemukan jodohnya, di laut itu pula ia kehilangan jodohnya


Pekalongan, 8 November 2009

Diposting oleh Aku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar