Arsip Blog

Senin, 29 Maret 2010


Wanita itu baru saja meninggalkan toko mainan, itu adalah toko mainan ke lima yang ia kunjungi. Kelelahan dan sengatan matahari membuat peluh mengucur dari dahi dan lehernya. Ia usap dengan tisu, berkali-kali. Tak tahu itu tisu ke berapa yang ia pakai. Pencarian hari ini memang cukup melelahkan hanya untuk membahagiakan anak perempuanya yang baru berumur lima tahun. Dara begitu gadis kecil itu dipanggil.

Tampak ia seperti gadis kecil lainya, ceria dan selalu riang. Hanya kebiasaanya bermain boneka yang membuatnya berbeda dengan teman-teman seusianya. Boneka apa saja ia miliki. Dari yang besar sampai yang kecil, beraneka macam warna dan bentuk. Boneka dari film-film kartun di televisi juga ada. Kamar tidurnya yang cukup luas tampak semakin sempit dengan kehadiran boneka-boneka itu. Ada lima buah boneka di tempat tidurnya,yang selalu ia dekap menjelang tidurnya. Dua puluh lainya ada di dinding sebelah kanan, berjejer rapi ditempatkan di rak yang cukup besar, dan ada beberapa lagi yang tampak berserakan di lantai kamarnya. Itu yang ada di kamarnya, belum lagi yang ada ditempat-tempat di bagian rumah lainya. Dan yang sudah rusak, tak terhitung jumlahnya . Si kecil kolektor boneka, begitulah julukan yang tepat baginya.

Ia habiskan sebagian besar waktunya untuk bermain dengan boneka-boneka itu. Ia tampak tak mengenal kesendirian, karena boneka-boneka itulah teman-teman sejatinya. Ia jarang bergaul dengan teman-teman sebanyanya, teman sebayanya adalah boneka-boneka itu. Ia jajarkan boneka-boneka itu, ia ajari bernyanyi, tepuk tangan , sambil mulutnya bicara tanpa henti ,ia jadikan dirinya sebagai guru dan bonekanya sebagai murid-muridnya. dokter-dokteran, dan kadang bermain pasara-pasaran, dan banyak lagi peran-peran lainya yang ia mainkan bersama boneka-bonekanya.

Bonekanya yang sudah begitu banyak , tidak membuatnya berhenti untuk memilikinya lagi. Kali ini ia meminta boneka seperti yang ia lihat dalam mimpinya. Ia merengek kepada ibunya untuk membelikan boneka kutu, begitulah ia menyebutnya. Mimpi itu membuat ia begitu terkesan, ia bermain dengan teman-teman bonekanya yang hampir semuanya mirip dengan kutu, berwarna-warni, kecil-kecil, lincah lari kesana-kemari tanpa henti. Mimpi itu membuat Ia seolah-olah melupakan teman-teman bonekanya selama ini. Ibunya heran dan sekaligus bingung karena baru sekarang ia mendengar ada yang namanya boneka kutu. Ia tak habis pikir, bagaimana ia harus menemukan boneka yang diminta anaknya. Di manakah tempat yang menjual boneka kutu tersebut.

Kepergianya kali inipun hanya untuk mencari boneka seperti yang diinginkan anaknya, ia berulang kali keluar masuk toko mainan , menanyakan apakah mereka menjual boneka kutu. Merekapun hampir semuanya menggelengkan kepalanya, tanda bahwa mereka tidak memiliki boneka yang dimaksud, malah diantara mereka tampak heran, karena baru kali ini mereka mendengarnya.

Kecemasan tampak padanya , karena kelihatanya, pencarianya kali inipun tidak membawa hasil, ia membayangkan gadis kecilnya gelisah dan tak sabar, menunggu di rumah, menanti kedatanganya sambil membawa boneka kutu yang diinginkanya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya nanti, bahwa ia belum bisa menemukan dan membelikan boneka kutu yang diinginkanya. Apa yang ada dalam mimpi sering kali berbeda dengan kenyataanya, dan begitulah keadaanya. Boneka kutu itupun tidak pernah ditemukanya.

Oleh Aku

Jumat, 26 Maret 2010

HANTU KAMBING



Jam baru menunjukan pukul 08.00 malam, masih sore untuk sebuah tempat yang sebenarnya cukup ramai itu, tetapi susananya tampak lengan dan sunyi. Ada enam pedukuhan di desa itu, yang masing-masing dukuh terdiri dari tiga puluh sampai empat puluh rumah. Mereka berkelompok dan sebagaian besar dari warga di dukuh-dukuh itu masih ada hubungan persaudaraan diantara mereka
Bertani dan bercocok tanam menjadi pekerjaan mereka sehari-hari, masing-masing keluarga yang tinggal di pedukuhan tersebut rata-rata memiliki sawah yang cukup luas. Mereka pergi ke sawah ketika masih sangat pagi dan pulang ke rumah ketika waktu duhur tiba. Dan kembali ke sawah lagi setelah beristirahat, mereka baru kembali kerumah ketika sore hari.
Sebagian besar dari masyarakat itu juga memiliki binatang ternak yang sebagian besar adalah kambing. Pilihan ini sangat tepat mengingat ketersediaan pakan kambing begitu melimpah. Rumput dan aneka dedaunan bisa dengan mudah diperoleh oleh warga karena tumbuh dengan baik di desa itu.
Kambing adalah binatang piaraan yang sudah turun-temurun di pelihara oleh warga di pedukuhan tersebut. Sebagian dari mereka menjadikan kambing sebagai petunjuk tingkat status sosial seseorang. Semakin banyak kambing piaraaanya maka semakin tinggi status sosial orang tersebut. Kambing-kambing itu dirawat dengan sangat baik, dari masalah pakan, kandang maupun kesehatannya. Mereka juga menjadikan kambing sebagai barang dagangan yang sangat menguntungkan. Bahkan dari usaha jual beli kambing itu kehidupan warga sangat berkecukupan.
Malam itu adalah malam ke sepuluh, dimana suasana di keenam pedukuhan itu begitu lengang dan sunyi. Kenyamanan warga benar-benar terganggu setelah matinya seekor kambing milik warga, tepat pada hari jumat kliwon yang lalu. Gino sang pemilik kambing tampak begitu kecewa dan menyesal. Ia menyalahkan diri sendiri atas matinya kambing itu. Jika saja ia bangun ketika kambing itu mengembik sangat keras, mungkin kambing itu bisa terselamatkan. Begitulah yang ada pada pikiran gino
Gino adalah orang ke delapan yang kehilangan kambing. Ini menjadi alasan yang kuat bagi warga di keenam pedukuhan tersebut untuk resah. Keresahan semakian menjadi ketika seorang warga menceritakan bahwa ia pernah melihat bayangan seekor kambing yang besar dengan sepasang tangan dan kaki mirip seperti manusia. Cerita ini menyebar dengan cepat ke semua pedukuhan dan bahkan menjadi bahan pembicaraan sehari-hari warga di setiap kesempatan.
Kondisi masyarakat yang masih tradisional, mempercayai hal-hal yang irasional semacam itu. Beberapa kasus matinya kambing warga di beberapa pedukuhan ditengarai berkaitan erat dengan munculnya hantu kambing berbadan manusia. Warga dengan sekenanya mengatakan hilangya kambing-kambing itu karena masyarakat tidak pernah melakukan sesaji kepada penguasa pedukuhan tersebut. Warga yang lain berpendapat bahwa hantu kambing itu adalah hantu jadi-jadian, bahkan ada yang mengatakan hantu kambing itu sebenarnya adalah orang yang sengaja ingin membuat kekacauan di desa itu. Dan masih banyak spekulasi lainya yang keluar dari mulut warga, sekitar matinya kambing-kambing itu.
Kekhawatiran akan semakin banyaknya kambing yang mati telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan dikalangan warga. Belum ada usaha yang jelas untuk meredam keresahan masyarakat ini. Para ketua pedukuhan dan para sesepuh wargapun tidak mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Mereka hanya menyarankan supaya warga diminta untuk berjaga diri.
Mereka hanya bisa menunggu dan bertanya, kapankah hantu kambing itu akan datang lagi dan kambing siapakah yang akan mati…………….? Kambing-kambing itu menghidupi sekaligus menakuti.

Oleh Aku

Selasa, 09 Maret 2010

KARMA SANG PENDOSA

Bau minuman keras itu masih keluar dari mulutnya. Posisi tubuhnya terkapar, terbujur penuh luka. Darah masih tampak mengalir dari ke dua lubang hidungnya. Giginya berantakan bekas pukulan benda tumpul. Sekujur tubuhnya lebam, dari dada sampai pusarnya. Jelas orang itu telah mengalami penganiaan yang sangat hebat. Tatto menghiasi tubuhnya, aneka gambar dan warna, yang kelihatan dibuat asala-asalan.
Gambar bunga mawar di lengan bagian kanan dipadu dengan gambar wanita setengah telanjang, mencolok. Gambar ular naga dengan ekor yang melingkar di dada sebelah kananya, dan beberapa gambar lainya yang sudah tidak jelas lagi karena coba dihapus. Ini kelihatan dengan bekas luka yang tampak pada gambar tatto itu.
Orang yang berkerumun tak satupun yang mengenalinya. Mereka bergerombol dan saling berbisik, bertanya, siapakah gerangan orang itu. Kondisi korban yang sangat tidak wajar, tidak menyurutkan niat orang-orang untuk melihatnya. Barisan terdepan yang dekat dengan korban tampak terhuyung-huyung, mendapat desakan dari orang-orang yang baru datang di belakangnya. Semakin lama semakin banyak saja orang yang datang menyaksikan korban itu. Wasri sang pedagang sayur keliling tampak diantara mereka.
Sudah hampir satu bulan, peristiwa pencurian terjadi di desa itu, dari pencurian yang kecil-kecil, seperti pencurian sandal, jemuran, binatang piaraan sampai pencurian yang cukup besar seperti yang dua hari lalu terjadi di rumah Haji Amat. Hampir samua isi rumahnya ludes digondol maling.
Kondisi yang sangat tidak aman ini membuat masyarakat siaga satu untuk menangkap pelakunya. Hampir setiap malam masyarakat berjaga secara begilir utuk menjaga keamaanan desanya. Ada yang membawa tombak, pedang, parang, berbagai pentungan dan apa saja yang bisa dipakai untuk menghajar, jika sewaktu-waktu maling yang meresahkan itu benar-benar tertangkap. Kelihatan wajah-wajah kelelahan diraut muka orang-orang itu karena begadang setiap malam.
Berita tewasnya seorang maling yang dihajar oleh warga akhirnya tersebar juga ke desa tetangga. Wasri yang baru pulang dari pasar mengabarkan peristiwa itu kepada siapa saja yang lewat. Sebagai saksi mata yang langsung melihat korban, Wasri dengan semangat menceritakan semuanya. Dengan gaya khas seorang pedagang, Wastri menceritakan apa yang telah dilihatnya
Tampak diantara kerumunan itu adalah Suminah. salah satu orang yang ikut menghambur ke luar untuk mendengarkan cerita dari Wasri. Suminah tampak tergopoh-gopoh sambil berlari-lari kecil bergabung dengan orang-orang yang berkerumunan mengelilingi Wasri. Anak balitanya yang sekali-kali meraung menangis, tidak begitu diperhatikanya. Ia mendesak , ingin tahu sekali apa yang diceritakan Wasri.
Wajah Suminah tampak tegang, matanya nanar dan membelalak seperti tidak percaya mendengar cerita Wasri. Jantungnya berdegup kencang ketika mulut wasri mengucapkan satu-persatu ciri-ciri korban. Rambutnya gondrong, ada banyak tattoo di tubuhnya, badanya kurus dan mengeluarkan bau minuman keras dari mulutnya.
Suminah memeluk erat balitanya dan segera kembali kerumahnya. Ia titipkan balitanya ke neneknya dan langsung pergi meninggalkan rumahnya menuju ke tempat peristiwa. Di benaknya muncul pertanyaan, apakah suaminya, laki-laki yang tewas dikeroyok oleh massa, seperti yang diceritakan oleh Wasri tadi.
Sodron, laki-laki yang tujuh tahun lalu menikahinya, meninggalkanya, dan entah apa yang dilakukanya di luar sana. Kadang sesekali pulang, tapi itu berarti bencana bagi Suminah dan anaknya. Ia beringas dan sangat kasar. Masyarakat di sekitarnya menyebutnya sebagai preman kampung. Mabuk-mabukan, berjudi, meminta uang dengan paksa kepada siapa saja, mengancam siapa saja, mengambil apa saja milik orang lain dan perilaku buruk lainya, telah menimbulkan kebencian yang mendalam dari warga sekitarnya. Bara api ini semakin tersulut seiring terjadinya berbagai pencurian akhir-akhir ini. Warga sepakat, Sodron, sang preman kampung itu harus mempertanggungjawabkan semuanya.
Sudah banyak polisi yang datang di tempat kejadian itu, ketika Suminah mencoba menerobos kerumunan. Gerakanya tertahan oleh tangan seorang polisi, yang menghalanginya mendekat. Tapi Suminah terus maju merangsek untuk memenuhi rasa penasaranya.
Dan saat itu tiba, Suminah benar-benar berdiri di samping sang korban. Ia mencoba jongkok untuk lebih mengenali korban, sambil menahan tubuhnya dengan kuat dari dorongan orang-orang yang berusaha mengusirnya pergi. Waktu yang sesaat itu cukuplah bagi Suminah untuk memastikan siapakah orang yang terbujur kaku di depanya.
Wajahnya kosong, tak ada tetesan air mata di pipinya. Ia diam dan tampak pasrah. Ia tinggalkan kerumunan itu dengan langkah yang gontai dan dengan nafas yang tersedak. Tak tahu pasti, apakah ia menyesali kematian suaminya atau malah mensyukurinya.



Oleh Aku