Arsip Blog

Selasa, 09 Maret 2010

KARMA SANG PENDOSA

Bau minuman keras itu masih keluar dari mulutnya. Posisi tubuhnya terkapar, terbujur penuh luka. Darah masih tampak mengalir dari ke dua lubang hidungnya. Giginya berantakan bekas pukulan benda tumpul. Sekujur tubuhnya lebam, dari dada sampai pusarnya. Jelas orang itu telah mengalami penganiaan yang sangat hebat. Tatto menghiasi tubuhnya, aneka gambar dan warna, yang kelihatan dibuat asala-asalan.
Gambar bunga mawar di lengan bagian kanan dipadu dengan gambar wanita setengah telanjang, mencolok. Gambar ular naga dengan ekor yang melingkar di dada sebelah kananya, dan beberapa gambar lainya yang sudah tidak jelas lagi karena coba dihapus. Ini kelihatan dengan bekas luka yang tampak pada gambar tatto itu.
Orang yang berkerumun tak satupun yang mengenalinya. Mereka bergerombol dan saling berbisik, bertanya, siapakah gerangan orang itu. Kondisi korban yang sangat tidak wajar, tidak menyurutkan niat orang-orang untuk melihatnya. Barisan terdepan yang dekat dengan korban tampak terhuyung-huyung, mendapat desakan dari orang-orang yang baru datang di belakangnya. Semakin lama semakin banyak saja orang yang datang menyaksikan korban itu. Wasri sang pedagang sayur keliling tampak diantara mereka.
Sudah hampir satu bulan, peristiwa pencurian terjadi di desa itu, dari pencurian yang kecil-kecil, seperti pencurian sandal, jemuran, binatang piaraan sampai pencurian yang cukup besar seperti yang dua hari lalu terjadi di rumah Haji Amat. Hampir samua isi rumahnya ludes digondol maling.
Kondisi yang sangat tidak aman ini membuat masyarakat siaga satu untuk menangkap pelakunya. Hampir setiap malam masyarakat berjaga secara begilir utuk menjaga keamaanan desanya. Ada yang membawa tombak, pedang, parang, berbagai pentungan dan apa saja yang bisa dipakai untuk menghajar, jika sewaktu-waktu maling yang meresahkan itu benar-benar tertangkap. Kelihatan wajah-wajah kelelahan diraut muka orang-orang itu karena begadang setiap malam.
Berita tewasnya seorang maling yang dihajar oleh warga akhirnya tersebar juga ke desa tetangga. Wasri yang baru pulang dari pasar mengabarkan peristiwa itu kepada siapa saja yang lewat. Sebagai saksi mata yang langsung melihat korban, Wasri dengan semangat menceritakan semuanya. Dengan gaya khas seorang pedagang, Wastri menceritakan apa yang telah dilihatnya
Tampak diantara kerumunan itu adalah Suminah. salah satu orang yang ikut menghambur ke luar untuk mendengarkan cerita dari Wasri. Suminah tampak tergopoh-gopoh sambil berlari-lari kecil bergabung dengan orang-orang yang berkerumunan mengelilingi Wasri. Anak balitanya yang sekali-kali meraung menangis, tidak begitu diperhatikanya. Ia mendesak , ingin tahu sekali apa yang diceritakan Wasri.
Wajah Suminah tampak tegang, matanya nanar dan membelalak seperti tidak percaya mendengar cerita Wasri. Jantungnya berdegup kencang ketika mulut wasri mengucapkan satu-persatu ciri-ciri korban. Rambutnya gondrong, ada banyak tattoo di tubuhnya, badanya kurus dan mengeluarkan bau minuman keras dari mulutnya.
Suminah memeluk erat balitanya dan segera kembali kerumahnya. Ia titipkan balitanya ke neneknya dan langsung pergi meninggalkan rumahnya menuju ke tempat peristiwa. Di benaknya muncul pertanyaan, apakah suaminya, laki-laki yang tewas dikeroyok oleh massa, seperti yang diceritakan oleh Wasri tadi.
Sodron, laki-laki yang tujuh tahun lalu menikahinya, meninggalkanya, dan entah apa yang dilakukanya di luar sana. Kadang sesekali pulang, tapi itu berarti bencana bagi Suminah dan anaknya. Ia beringas dan sangat kasar. Masyarakat di sekitarnya menyebutnya sebagai preman kampung. Mabuk-mabukan, berjudi, meminta uang dengan paksa kepada siapa saja, mengancam siapa saja, mengambil apa saja milik orang lain dan perilaku buruk lainya, telah menimbulkan kebencian yang mendalam dari warga sekitarnya. Bara api ini semakin tersulut seiring terjadinya berbagai pencurian akhir-akhir ini. Warga sepakat, Sodron, sang preman kampung itu harus mempertanggungjawabkan semuanya.
Sudah banyak polisi yang datang di tempat kejadian itu, ketika Suminah mencoba menerobos kerumunan. Gerakanya tertahan oleh tangan seorang polisi, yang menghalanginya mendekat. Tapi Suminah terus maju merangsek untuk memenuhi rasa penasaranya.
Dan saat itu tiba, Suminah benar-benar berdiri di samping sang korban. Ia mencoba jongkok untuk lebih mengenali korban, sambil menahan tubuhnya dengan kuat dari dorongan orang-orang yang berusaha mengusirnya pergi. Waktu yang sesaat itu cukuplah bagi Suminah untuk memastikan siapakah orang yang terbujur kaku di depanya.
Wajahnya kosong, tak ada tetesan air mata di pipinya. Ia diam dan tampak pasrah. Ia tinggalkan kerumunan itu dengan langkah yang gontai dan dengan nafas yang tersedak. Tak tahu pasti, apakah ia menyesali kematian suaminya atau malah mensyukurinya.



Oleh Aku



1 komentar: