Arsip Blog

Jumat, 09 April 2010

EPISOD KEHIDUPAN MANUSIA


                          EPISOD KEHIDUPAN MANUSIA

          Detak jam yang terus perputar menuju ke keheningan malam, tak juga mampu memasaknya untuk memejamkan matanya. Tampak begitu berat lamunan itu menggelayut dalam pikiranya. Tatapan matanya redup, kosong tak mengartikan apapun. Raganya terpenjara oleh kegalauan batinya yang membara. Hatinya terbelenggu oleh penyesalan yang mendalam, ketidak beranian yang sulit dipahami, perasaan takut yang berlebih-lebihan, dan perasaan rendah diri yang begitu mengakrabinya. Tak ada sedikitpun keinginan untuk bangkit barang sesaat, hanya untuk mengevaluasi hidupnya.
          Tak ada kepastian kapan semua itu akan berakhir. Kadang semangat kehidupan itu muncul dengan tiba-tiba dan menggebu, tetapi perlahan sirna oleh sebab yang tidak dimengerti. Kekacauan hatinya begitu mengganggu konsentrasi hidupnya. Tak terbantah ia hidup dengan segala penderitaan batinya, hanya ia yang mengetahui dan ia lah yang seharusnya mengakhiri.
          Keinginannya begitu kuat untuk mengubah semuanya, segalanya yang membuat hidupnya begitu terpuruk dalam kesedihan dan ketidakpastian. Sering kali ia berharap ada setetes embun menyusup dalam relung hatinya, menyejukan dan menyegarkan, membersihkan dengan lembut bercak-bercak hitam yang menempel di sekujur hatinya. Setetes embun yang bisa memberikan semangat juang kehidupan bagi dirinya, yang bisa menjadi penghilang dahaga kebahagiaan yang selama ini tidak diperolehnya. Setetes embun yang bisa membangkitkan semangat jiwa dan raganya, yang bisa mendengar keluh kesahnya, dan yang bisa memberikan jalan keluar bagi permasalahanya. Hanya setetes ! Hatinya terus berharap.
          Ia coba bertanya kepada dirinya, mengapa ia begitu ringkih dalam menjalani hidupnya. Mengapa semua kelebihannya menjadi tenggelam oleh keputusasaanya. Perjalanan hidup yang cukup lama dilaluinya, terasa sangat sebentar dijalaninya, tanpa biru, hijau, kuning dan warna-warni kehidupan lainya. Waktunya berjalan begitu hambar tanpa capaian-capaian fenomenal. Ketidak berdayaanya terlihat jelas dari sikapnya yang diam, mememndam dalam setiap apa yang dipikirkanya, tak menghiraukan suara hatinya yang terus berdegup kencang mengajaknya lari ke telaga perubahan, telaga dengan airnya yang bening dan membiru. Ia tak juga tergerak hatinya.
          Kehidupan memanglah berat, tapi baginya lebih dari itu, kehidupan telah menyiksanya, memberinya banyak kegagalan dari pada keberhasilan. Memberinya kesedihan daripada kebahagiaan. Memberinya kelemahan dari pada kekuatan. Itulah yang ia rasakan selama ini.
Sepasang cicak di atas dinding kamarnya begitu menggodanya, mereka saling berkejaran, yang satu manggigit yang lainya. Mengapa cicak itu begitu bahagia dengan hidupnya, tanpa beban menjalani semuanya.   Mengapa kebahagiaan itu tak ada pada dirinya. Cicak itu kembali berkejar-kejaran dan kembali saling menggigit, tampak seperti memberikan pelajaran bahwa siapa saja harus menerima takdirnya.
          Malam semakin larut, ia tetap berada pada pembaringanya, tak berubah. Gerimis diluar turun dengan lembut, menyapa sang penderita kegalauan. Ia datang dengan kesejukan, dengan semilir angin, mencoba menyiram kegalauan dalam hati dan pikiranya. Kesejukan yang sempurna yang datang dari Maha Kuasa yang mendengar jeritan hambanya.
          Ia terbangun, sejenak ia duduk di samping pembaringanya, mulutnya beristighfar dan mengucap hamdallah, ia bergegas mengambil air wudu, ia bentangkan sajadah putihnya dan ia kerjakan dua rakaat sholatnya dengan mata sembab penuh air mata. Dalam sujudnya ia memohon, Ya Rob berilah kekuatan dalam menjalani hidup ini.


Oleh Aku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar