P U P U S
Suara bising kereta api benar-benar memekakkan telinga, dan tanpa mempedulikanya, semua calon penumpang menghambur masuk ke dalam kereta. Ada empat rangkaian gerbong, dan Darma melompat ke gerbong ke dua yang memang paling dekat dengan posisi berdirinya. Ia susuri gerbong itu dengan cepat, dengan pandangan mata yang tajam, ia coba mencari kursi yang kosong. Tepat di dekat toilet kereta, ia temukan satu kursi kosong. Ia segera hampiri kursi itu dengan terlebih dahulu mengucapkan permisi kepada orang yang telah menempati kursi itu terlebih dahulu. Teman duduknya adalah seorang bapak-bapak yang kelihatan sedang tidur tidur ayam. Tujuanya adalah kota Semarang, kota di mana dia mengenal wanita yang selama ini ada di dalam hatinya.
Orang tuannya memberi nama Tugirah, tapi dia di panggil Tira oleh orang-orang di sekitarnya. Ia bersama orang tuanya, datang dari dusun yang jauh dari kota. Sudah sepuluh tahun ia mengikuti orang tuanya mengadu nasib untuk tinggal di kota Semarang. Di mulai dengan kehidupan yang apa adanya orang tua Tira terus berjuang yang akhirnya mampu mendirikan sebuah warung makan sederhana di tepi jalan yang cukup ramai dan strategis, di situlah Tira sekarang membantu orang tuanya bekerja. Orang memangilnya dengan Tira sangatlah beralasan, kulitnya kuning bersih, rambutnya hitam legam, mata, hidung, bibir, gigi……sempurna untuk seorang gadis desa. Itulah kelebihanya, mengapa nama aslinya tenggelam oleh nama panggilanya.
Tiga tahun lalu, ketika masih kuliah, di situlah pertama kali Darma mengenalnya. Warungnya adalah tujuan utama setiap kali ia hendak makan, repot memang, karena jarak antara kos-kosan dan kampusnya lumayan jauh dari warung Tira. Tapi wajah manis Tira telah menjadi energi tambahan bagi Darma untuk selalu makan di warungnya. Dan Darma yakin, tidak hanya ia yang berpikir demikian, tapi hampir semua pelanggan warung itu yang sebagian besar laki-laki, juga berpikiran yang sama dengannya.
Letak warungnya yang startegis, tepat dipinggir jalan, menjadi tujuan para sopir untuk istirahat dan makan di warungnya. Nama Tira lebih familiar di kalangan sopir, dibandingkan nama ibunya, bahkan nama warungnya sekalipun.
Tiga tahun tidak bertemu adalah waktu yang sangat lama bagi hati yang sedang jatuh cinta. Dan Darma memburu pertemuan itu sambil berharap bahwa Tira akan menyambutnya dengan senyum manisnya.
Statusnya sekarang sebagai guru honorer di sebuah SMP negeri, membuatnya yakin dan percaya diri. Darma tidak akan menggunakan pertemuan itu hanya sekedar sebagai temu kangen dengan Tira dan keluarganya, tetapi lebih dari itu, ia akan memberikan kepastian tentang hubunganya dengan Tira
Darma berdiri tepat di depan warung Tira, tampak tidak ada perubahan. Di depan warungnya berjejer angkot, bertanda para sopir dan kernetnya sedang istirahat dan makan di warung itu Seketika matanya terbelalak, kaget bercampur bahagia, ketika dari dalam warung keluar seorang wanita, yang tak lain adalah Tira.
Tira menyambut kedatangan Darma dengan senyum yang terus mengembang. Ada kebahagiaan yang kuat diantara mereka. Tiga tahun lalu, di situlah ke duanya sering bertemu dan bercanda, saling menggoda dan menyanjung satu sama yang lain. Matanya saling menatap. Ke dua tangan mereka saling berpegangan. Kerinduan benar-benar membuncah di antara ke duanya.
Saat yang ditunggupun datang, Dengan penuh kebahagiaan dan tanpa beban, Darma menceritakan maksud dan tujuan kedatanganya menemui Tira Rencana untuk meminangnya, rencana untuk membahagiakanya, dan rencana-rencana hidup lainya.
Senyuman yang terus mengembang dari mulut Tira, tiba-tiba meredup, Tira diam membisu, ia menggeser duduknya dan menjauh dari Darma. Keringatnya mengalir dari dahi dan lehernya. Ia tampak bingung dan salah tingkah. Darma heran dengan perubahan ini.
Di luar warungnya, masuk sebuah angkot. Sopirnya ke luar. Badanya tidak terlalu tinggi, perutnya agak buncit, dengan handuk dilehernya. Kepala Tira tertunduk lesu, dari mulutnya ia berkata, ia calon suamiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar